Hari
pertama tugas ke luar kota setelah
pindah dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan ke Badan Pelaksana Penyuluhan dan
Ketahanan Pangan Kabupaten Manggarai merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Lokasi yang aku kunjungi tidak jauh dari kota
Ruteng tepatnya di desa Kenda - kecamatan Wae Rii. Tujuannya adalah untuk
memonitoring perkembangan persiapan lahan dan persiapan calon peserta kegiatan
pengembangan tanaman hortikultura jenis
sayuran di beberapa wilayah berdasarkan
kesesuaian iklim dan minat petani
setempat.
Sudah
kubayangkan pasti sangat menyenangkan karena akan menyusuri jalan desa dengan udara sejuk dan pemandangan alam nan
elok sebagai bonus yang akan kuterima.
Sebelum
berangkat kusiapkan semua perlengkapan antara lain surat tugas, beberapa format, alat tulis dan
tak lupa kamera untuk mendokumentasikan perjalananku. Semuanya kumasukkan dalam tas ransel
kesayangan yang kelihatan semakin usang karena termakan usia.
Di
luar rumah udara dingin dan lembab seakan tak mau beranjak. Mentari
terlihat samar-samar di balik gumpalan awan kelabu. Meskipun
sudah dipenghujung April masih saja diselimuti kabut. Sejak dahulu kota Ruteng telah
menyatu dengan udara dingin, mendung dan
hujan, sehingga tak heran bila ada yang menjulukinya sebagai kota hujan. Beruntung memiliki topografi berbukit-bukit sehingga tidak sampai kebajiran
seperti kota Jakarta. Menyadari kondisi cuaca yang kurang bersahabat tak lupa kusertakan mantel hujan di bagasi motor.
Setelah
semuanya siap aku meninggalkan rumah pukul 8.30 pagi. Kupacu motor bebekku
dengan kecepatan rendah 30 km/jam, terasa lebih santai sambil menikmati keindahan alam dan hiruk
pikuk perkampungan yang berjejer sepanjang kiri kanan jalan. Sesekali bertanya pada masyarakat arah jalan agar tidak tersesat karena terdapat
beberapa persimpangan yang membingungkan.
Perjalananku
ternyata tidak semulus yang aku bayangkan,
orang-orang yang ingin aku jumpai
di Kantor BPK Wae Rii sedang tugas luar, untung masih bertemu seorang ibu
penyuluh pertanian desa Kenda. Dari ibu itu aku memperoleh informasi tentang
persiapan lahan dan persiapan kelompok tani hortikulura yang akan dikembangkan
di wilayah tersubut.
Sebelum
melanjutkan perjalanan, aku mendokumentasikan lokasi yang telah disiapkan oleh kelompok. Beberapa lahan untuk pengembangan wortel sudah
ditanami sawi putih karena pendropingan benih
belum dilakukan oleh instansi terkait. Menurutku
itu tindakan yang sangat kreatif, tidak membiarkan lahan terlantar.
Perjalanan
pulang menyusuri jalan yang cukup panjang, ingin mengunjungi sebuah desa yang juga mengembangkan tanaman hortikultura. Pemandangan
sawah dengan latar belakang bukit-bukit
hijau turut menemani kesendirianku. Keramahan penduduk mendorong sesekali melempar senyum, senyuman termanis sebagai ungkapan hati yang sedang riang gembira. Tidak
ketinggalan mendokumentasikan beberapa
lahan yang sudah mengembangkan sayur sawi putih, buncis, kacang panjang dan
bayam. Seorang ibu yang sedang bekerja
di sawah menyapaku dengan ramah “Mau kemana nak?” Aku memperhatikan wanita
setegah baya itu, guratan kasar di wajahnya seakan menceritakan beban yang
telah dipikul bertahun-tahun. “Mau ke Desa Ndehes bu”. Kujawab sambil mendekatinya “Sayur ini milik
ibu?” aku menunjuk petak sawah yang
telah disulap menjadi hamparan sayur. “Bukan
nak, itu milik orang lain, dulu ibu menanam sayur, namun harga borongan pedagang pasar yang sangat rendah
membuat ibu patah semangat dan sekarang tidak menanam lagi”. Jawabnya miris. Aku
tertegun, sebuah PR untuk pemerintah juga untuk diriku. Wanita ini telah
mewakili jeritan puluhan atau ratusan petani lain yang ingin meningkatkan perekonomian
namun gagal akibat harga jual tidak sebanding dengan tenaga dan materi
yang telah dikuras.
Setelah
pamit pada wanita itu aku melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan Kenda – Poco
tidak sebagus Ruteng – Kenda, bahkan pada beberapa tempat terdapat kerusakan yang
cukup parah, aku memacu kendaraan dengan
sangat hati-hati. Hampir saja tak
sanggup melanjutkan perjalanan ketika melewati ruas jalan yang sedang diperaiki.
Tanah hasil kerukan dibuang begitu saja di tengan badan jalan, akibat guyuran hujan
jalan menjadi sangat becek, tak
ada tempat yang luput dari kubangan lumpur. Aku menghentikan motor sambil
menyaksikan pemandangan yang tidak menyenangkan itu, hampir saja seorang pemuda
terpeleset bersama
motornya. “Ibu hendak kemana?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan
aku yang sedang ngelamun. “Ke desa
Ndehes”. Jawabku singkat. “Wah.. lebih baik ibu balik saja, jalannya sangat licin”.
Aku semakin ragu untuk terus maju, kalau balik berarti sia-sia perjalananku
yang panjang dan memakan waktu cukup lama, sementara cabang Poco tinggal 1 km lagi. “Tidak, saya
akan melewati jalan ini”. Keberanian itu muncul begitu saja, semangat yang
hampir pudar terpacu kembali. “Kalau begitu ibu hati-hati karena jalan ini
sangat sepi, saya khawatir bila ada
masalah saat melewati jalan berlumpur ini, tidak ada yang bisa menolong ibu”.
Lalu pemuda itu melanjutkan perjalannya ke Kenda, aku memperhatikannya sampai
hilang dari pandangan “pemuda yang ramah” bhatiku.
Aku terpaku cukup lama sambil memandang jalan berlumpur itu, sangat sepi
hanya ada sebuah rumah di tikungan namun tak
nampak penghuninya, juga tak satu pun kendaraan yang melintas. Rasa cemas
terus mengusik. “Aku harus mampu
melewati jalan ini” bisik hatiku. Perlahan kupacu motor sambil mencari jalan mulus
yang masih tersisa. Sepatu ketsku mulai
berlumpur ketika kaki harus turut
menopang sepeda motor yang miring akibat hilang keseimbangan. Beberapa
kali hampir terpeleset, kelincahanku benar-benar diuji. Keringat dingin keluar
dengan sangat deras akibat stres dan kecemasan yang luar biasa. Peluh di tubuh seperti saat berjalan kaki
mengelilingi pulau mules di siang bolong, baju kaos basah kuyup. Aku terus
berdoa “Ya Tuhan.... tuntunlah aku...
jangan biarkan aku jatuh dalam kubangan
lumpur”.
Ketika
sampai di ujung jalan yang tidak berlumpur, kuparkir motor lalu turun untuk beristirahat
sejenak dan memotret jalan yang baru
saja kulewati. Nampak dari jauh seorang pemuda berjuang menaklukkan jalan yang
sama, aku terus memperhatikannya, beberapa kali hampir terpeleset. Setelah tiba
dia bertanya sambil memperhatikan motor dan sepatuku yang kotor penuh lumpur, “apakah ibu juga telah melewati jalan
ini?” aku tersenyum, “yah.. baru saja”,
jawabku. “wah... luar biasa.. ibu satu-satunya wanita yang berani melewati
jalan buruk ini.” Mendengar komentarnya senyumku semakin lebar.
Akhirnya
perjuanganku berhasil, hanya beberapa
ratus meter saja sampai di pertigaan Poco. Lega rasanya ketika melewati jalan
Poco yang sangat mulus. Namun sepatu dan sepeda motorku masih kotor, sedikit risih saat berpapasan dengan kendaraan
lain yang bersih dan keren.
Hiruk
pikuk di depan kantor Desa Ndehes mengurungkan niat untuk bertemu kelompok tani.
Halaman kantor desa dan jalan raya dipenuhi masyarakat dan kendaraan bermotor,
sepanjang jalan berjejer pedagang keliling menjajakan barang dagangan. Jalan
menjadi macet akibat sebagian badan jalan digunakan untuk berdagang. Aku
penasaran dan bertanya pada salah seorang bapak
“apa yang sedang terjadi di tempat ini pak?”. Saking ramai dan bising akhirnya aku harus
bertanya berkali-kali “hari ini
masyarakat menerima BLT bu,” namun belum hilang rasa penasaran dan aku bertanya lagi “mengapa banyak sekali pedagang di sini ?”. Bapak itu tersenyum lalu menjawab dengan malu-malu “Biasa bu, selesai terima uang langsung
belanja”. Aku hanya
geleng-geleng kepala, “semoga uang yang baru diterima tidak
disalahgunakan”, bisik hatiku.
Pemandangan
yang sangat unik itu tidak kulewatkan. Kembali
kukeluarkan kamera dari saku ransel lalu mengarahkan
bidikan ke beberapa sudut keramaian yang kuanggap menarik sebagai oleh-oleh yang akan kubawa pulang.
Dari
hutan ke kebun petani, pekerjaanku sangat keren, penuh petualangan sekaligus
pengabdian. Ingin kudatangi lagi
kebun-kebun yang belum kukunjungi sambil menikmati keindahan alam dan keramahan
para petani.